Saturday, January 16, 2010

8


“Rei, what are you doing here..?”
Aku menjengah-jengah ke belakang restoran. Tak pedulikan Lillian yang memeluk tubuh di hadapan aku.
“What, I can’t be here?”
“But now is still working hours.”
Aku mengerling Lillian.
“I don’t have class today.” Lillian mencebik.
“Where’s everybody else?”
“Vivian took a day off, Audrey’s going to the market.”
Ah, bukan diorang yang aku nak tanya!
“I don’t know what to say, seeing her so wanting to play that Steinway.” Lillian bercakap tiba-tiba, sambil memuncung ke arah penjuru restoran bila aku baru mula menyalakan api ke rokok.
Aku memandang ikut telunjuk Lillian. Gadis misteri! Dia sedang duduk di atas kerusi piano, tubuhnya masih terbalut baju hujan kerana pagi ini hujan turun lebat macam malam tadi. Seperti dia baru tiba.
“Is she any good?”
“Dunno, never heard her play before.”
Gadis itu menanggalkan scarf di lehernya, tangan kecilnya pula mencari-cari gigi piano. Lembut dia menyapa piano itu. Mesti Chopin!
La Campanella – Liszt
Ternganga sekejap aku, sangkaan aku salah. Dia mainkan La Campanella dari Liszt! Katanya semalam, dia tak pandai main piece selain Chopin? Adakah dia dah tipu aku..?
Pada awal tempo allegrettonya kedengaran perfect, tapi di tengah-tengah interval antara fifteenth note dia terhenti. Teragak-agak jarinya menari dia atas piano itu. Dia bermula lagi, tapi masih gagal di takuk yang sama. Gerakan jarinya salah, aku dapat kesan. Tapi di saat aku mau bangun menuju ke arah dia, dia pula beredar dari kerusi piano. Tinggalkan scarf birunya di atas penutup piano itu.
“Hey,”
Dia menoleh.
“You left this,” aku hulur scarf biru padanya. Dia sambut dan tersenyum.
“I’m Rei.” Akhirnya aku kenalkan diri, berharap dia juga akan buat begitu.
“I know.”
Bila dia cuma balas itu dan berlalu pergi, aku perasan yang ruyung misterinya masih belum retak nampaknya. Entah kenapa rasa ingin tahu aku pada gadis ini menggunung. Seakan aku baru jumpa spesis terancam, rasa ingin lindungi dia...
TRIT TRIT! TRIT TRIT!
Pager aku berbunyi, seolah doktor di ER. Cepat-cepat aku menuju ke kolej semula, dan biarpun hampa aku tak dapat tahu namanya, akhirnya aku pernah dengar dia main piano. Bagi aku, dia bagus, cuma mungkin terlalu tumpukan Chopin sampaikan yang lain dia tak dapat main dengan betul.

“You page me?” aku tegur Marion sebaik sampai di professorial staff room.
“Rei! Come and help me..
Aku berjalan mendekati Marion yang cuma selang semeja dari pintu masuk.
“I’ve to sort these names...it’s for the piano competition next month.”
Aku melihat senarai yang diberi Marion. Semuanya peserta dari Piano Department. Adatlah, kan. Tiba-tiba, mata aku tertangkap sekeping gambar dalam fail di atas meja Marion.
“This...”
“Oh, that? It’s nothing. I was about to throw that away..”
“Who is she..?”
“Well, she’s one of the International Scholarship receivers. But looks like she never made it to here..”
“What do you mean?”
“Don’t mind her; she’s only a second runner-up...in her country.”
“A second runner up?”
“Well I was one of the judges there, in Malaysia. So she won third place and the prize was a scholarship to study here. But the scholarship was annulled because she didn’t make it to registration.”
Aku merenung gambar ini dalam-dalam. Dia...dari Malaysia? Elia Abdullah, namanya. Melayu. Sebangsa dengan ayah aku?
Dia tak sempat daftar di sini? Tapi aku jumpa dia, kan? What the heck?

0 planets: